kenapa islam menghalalkan membunuh manusia..???? (QS 8:39/ QS QS 9:14 /QS QS 9:29)
menghalalkan memancung leher manusia.??? (QS 8:12,)
Menghalalkan memerangi manusi.( QS 9:123). lebih dari itu kalau ketiga sarat di atas terpenuhi maka sangat halal merampok merampas harta manusia..??(Quran 48:20)
Halal memukul(QS 4:34) mengurung isteri sampai mati kecuali isteri tidak melakukan pelanggaran(QS 4:15) halal . kawin lebih dari satu orang wanita (QS 4:3) dan halal untuk wanita di ceraikan(QS 4:20).
=============================
jawab;
Jangan hanya lihat satu ayat saja. Baca ayat sebelum nya atau sesudah nya.
8.39. Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah . Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
kenapa diperangi??
baca ayat ini :
8.34. Kenapa Allah tidak mengazab mereka padahal mereka menghalangi orang untuk (mendatangi) Masjidilharam, dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya? Orang-orang yang berhak menguasai(nya) hanyalah orang-orang yang bertakwa. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
8.36. Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan,
------------------------------------------------------------
9.14. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.
kenapa diperangi??
baca ayat ini :
9.13. Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu?. Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.
------------------------------------------------------------
9.29. Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.
kenapa diperangi??
baca ayat ini :
9.23. Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
9.32. Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.
9.34. Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,
-------------------------------------------------------------
8.12. (Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : "Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman". Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.
kenapa diperangi??
baca ayat ini :
8.13. (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya.
8.15. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).
-------------------------------------------------------------
9.123. Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertakwa.
kenapa diperangi??
baca ayat ini :
9.120. Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik,
------------------------------------------------------------
48.20. Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu dan Dia menahan tangan manusia dari (membinasakan)mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan agar hal itu menjadi bukti bagi orang-orang mu'min dan agar Dia menunjuki kamu kepada jalan yang lurus.
sebenarnya ayat ini menerangkan kepada orang orang Badwi :
48.15. Orang-orang Badwi yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan : "Biarkanlah kami, niscaya kami mengikuti kamu"; mereka hendak merobah janji Allah. Katakanlah: "Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan sebelumnya"; mereka akan mengatakan : "Sebenarnya kamu dengki kepada kami". Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.
48.16. Katakanlah kepada orang-orang Badwi yang tertinggal: "Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam). Maka jika kamu patuhi (ajakan itu) niscaya Allah akan memberikan kepadamu pahala yang baik dan jika kamu berpaling sebagaimana kamu telah berpaling sebelumnya, niscaya Dia akan mengazab kamu dengan azab yang pedih".
================================================
4.34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) . Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya , maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya . Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
jawaban nya :
1. Nusyuz dari istri
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Nusyuz-nya istri adalah ia tidak mentaati suaminya apabila suaminya mengajaknya ke tempat tidur, atau ia keluar rumah tanpa minta izin kepada suami dan semisalnya dari perkara yang seharusnya ia tunaikan sebagai wujud ketaatan kepada suaminya.” (Majmu` Fatawa, 32/277).
Termasuk nusyuz-nya istri adalah enggan berhias sementara suaminya menginginkannya. Dan juga ia meninggalkan kewajiban-kewajiban agama seperti meninggalkan shalat, puasa, haji dan sebagainya.
Penyebutan nusyuz dari istri ini datang dalam firman-Nya:
“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakni[1] ) nusyuznya maka hendaklah kalian menasehati mereka, dan meninggalkan mereka di tempat tidur dan memukul mereka.” (An Nisa’: 34)
2. Nusyuz dari suami
Nusyuz-nya suami dengan sikapnya yang melampaui batas kepada istrinya, menyakitinya dengan mendiamkannya atau memukulnya tanpa alasan syar‘i, tidak menafkahinya dan mempergaulinya dengan akhlak yang buruk. Al Qur’an menyebutkan nusyuz-nya suami ini dalam firman-Nya:
“Dan apabila seorang istri khawatir akan nusyuz suaminya atau khawatir suaminya akan berpaling darinya maka tidak ada keberatan atas keduanya untuk mengadakan perbaikan/perdamaian dengan sebenar-benarnya.” (An Nisa’:128)
Apabila seorang istri melihat suaminya menjauh darinya, mungkin karena kebencian suami terhadapnya atau ketidaksukaannya terhadap beberapa perkara yang ada pada dirinya seperti parasnya yang jelek, usianya atau karena ketuaannya ataupun perkaranya yang lain, maka tidak masalah bagi keduanya untuk mengadakan kesepakatan. (Tafsir Ath Thabari, 5/305-306)
3. Nusyuz dari kedua belah pihak
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan perselisihan antara kedua pihak dengan firman-Nya:
“Dan bila kalian khawatir perselisihan antara keduanya maka hendaklah kalian mengutus seorang hakim (pendamai) dari keluarga si suami dan seorang hakim (pendamai) dari keluarga si istri…” (An Nisa’: 35)
Sebab Terjadinya Nusyuz
Seorang suami yang bahagia dalam kehidupan rumah tangganya adalah suami yang menunaikan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya dan dia memperoleh hak-haknya dari istri yang telah Allah tetapkan untuknya. Sedangkan istri yang berbahagia adalah istri yang menunaikan kewajiban-kewajibannya dan memenuhi hak-hak suaminya.
Namun terkadang salah seorang dari pasangan suami istri ini ataupun kedua-duanya berbuat nusyuz, tidak menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan hingga kebahagiaan yang didamba hanya sebatas fatamorgana.
Nusyuz ini ditimbulkan oleh beberapa sebab, bisa jadi sebabnya datang dari pihak istri atau dari pihak suami, pihak kerabat atau orang luar, atau karena faktor lain.
Pertama, sebab yang datang dari pihak istri, di antaranya:
• Seorang istri sibuk berkarier di luar rumah hingga menelantarkan urusan rumah tangganya, bahkan suami pun tersia-siakan.
• Istri tidak mengetahui bagaimana menjalani kehidupan rumah tangga, tidak mengerti hak dan kewajibannya terhadap suami.
• Khayalan seorang wanita sebelum menjalani kehidupan rumah tangga. Dalam bayangannya pernikahan itu ibarat taman bunga yang selalu indah, harum semerbak, didampingi seorang kekasih yang selalu sejalan, penuh cinta dan pengertian. Namun ketika ia memasuki kehidupan rumah tangga, ia tidak mendapatkan apa yang dia khayalkan sebelumnya hingga kekecewaan merebak di hatinya.
Kedua, sebab yang timbul dari pihak suami. Terkadang suami menjadi sebab kedurhakaan istrinya, misalnya karena ia terlalu bakhil kepada keluarganya, sangat emosional, keras dan kaku dalam tindakan, melangkah dan bertindak tanpa peduli dengan istri dan tidak berupaya memberi pemahaman padanya atau mengajaknya bertukar pendapat.
Ketiga,sebab nusyuz dari pihak keluarga istri. Seperti wanita yang menikah dengan seorang laki-laki karena dipaksa oleh walinya, padahal ia tidak menyukai laki-laki tersebut, sehingga ketika memasuki kehidupan rumah tangga dengannya, ia tidak bisa mentaatinya atau malah membencinya.
Keempat, sebab nusyuz karena faktor lain. Seperti adanya perbedaan kejiwaan dan akhlak antara suami istri, meningkatnya taraf kehidupan/ekonomi keluarga, menyimpangnya pemikiran salah seorang dari keduanya, atau sakitnya salah seorang dari mereka atau cacat sehingga menghalanginya untuk menunaikan kewajibannya. (An Nusyuz, hal. 28-33, Shalih bin Ghanim As Sadlan)
Mengobati Istri yang Berbuat Nusyuz
Bila terjadi problem dalam rumah tangga tidak sepantasnya pasangan suami istri langsung memutuskan perceraian, sementara permasalahan itu bisa diselesaikan dengan cara lain yang lebih baik tanpa harus memutuskan ikatan nikah. Demikian pula bila terjadi nusyuz dari pihak istri, Islam memberikan jalan untuk menyembuhkannya dengan cara yang disebutkan dalam Al Qur’an:
“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini) nusyuznya maka hendaklah kalian menasehati mereka, dan meninggalkan mereka di tempat tidur dan memukul mereka. Kemudian jika mereka mentaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (An-Nisa’: 34)
Penyembuhan istri yang nusyuz ini dilakukan dengan tahapan (Ruhul Ma‘ani, 5/25), tidak langsung memakai cara kekerasan, sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma: “Istri itu diberi nasehat kalau memang ia mau menerima nasehat. Kalau tidak, ia ditinggalkan di tempat tidurnya bersamaan dengan itu ia didiamkan dan tidak diajak bicara.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504)
Bila cara nasehat tidak berhasil, istri tersebut di-hajr (dijauhi) dengan tidak digauli (senggama) selama waktu tertentu hingga tercapai maksud yang diinginkan. Kalau tidak berhasil juga maka barulah ditempuh cara pukulan namun tidak boleh meninggalkan bekas. (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 177)
1. Memberi nasehat dan bimbingan
Ini merupakan langkah pertama yang harus ditempuh untuk mengembalikan istri kepada ketaatannya atau menjauhkannya dari pelanggaran yang dilakukannya. Nasehat dilakukan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan: “Dalam nasehat itu ia ditakut-takuti kepada Allah ‘azza wajalla, diingatkan apa yang Allah wajibkan kepadanya untuk memenuhi hak suami dan keharusan mentaatinya, diperingatkan akan dosa bila menyelisihi suami dan bermaksiat padanya. Ia juga diancam akan gugur hak-haknya berupa nafkah dan pakaian bila tetap durhaka kepada suami dan ia boleh dipukul dan di-hajr oleh suami kalau tidak mau menerima nasehat.” (Al-Mughni, 7/241).
2. Al Hajr
Terkadang seorang istri tidak cukup diberi nasehat untuk menghentikannya dari nusyuz yang dilakukan sehingga harus ditempuh cara penyembuhan yang kedua, yaitu dengan hajr. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan hajr ini dengan tidak menggauli istri, tidak menidurinya di atas tempat tidurnya dan memunggunginya. As-Sudi, Adh-Dhahhak, ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas dalam satu riwayat menambahkan: “Bersamaan dengan itu ia mendiamkan dan tidak mengajak bicara istrinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504, Tafsir Al-Baghawi, 1/423)
3. Pukulan
Terkadang penyembuhan dan pendidikan butuh sedikit kekerasan, karena ada tipe manusia yang tidak bisa disembuhkan dari penyimpangannya kecuali dengan cara diberi kekerasan fisik. Dan termasuk penyembuhan nusyuz istri adalah dengan pukulan yang diistilahkan Imam Al Qurthubi rahimahullah dengan pukulan pendidikan (Al Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 1/113), bukan pukulan untuk tujuan menghinakan atau menyiksa. (Al Mughni, 7/242)
Disyaratkan pukulan itu tidak terlalu keras hingga mematahkan tulang atau meninggalkan bekas sebagaimana pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam haji Wada`:
“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorangpun yang kalian tidak sukai untuk menginjak permadani kalian1. Bila mereka melakukan hal tersebut maka pukullah mereka dengan pukulan yang keras. Dan hak mereka atas kalian adalah kalian harus memberikan nafkah dan pakaian untuk mereka dengan cara yang ma’ruf”. (Shahih, HR. Muslim no. 1218)
Yang dimaksud2 kata Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah yaitu pukulan yang tidak membekas (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504). Atau pukulan yang tidak membelah daging dan mematahkan tulang. (Ruhul Ma‘ani, 5/25)
‘Atha rahimahullah pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang maksud(nya): Ibnu ‘Abbas menjawab: “Pukulan dengan memakai siwak dan semisalnya.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/113, Ruhul Ma`ani, 5/25)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah setelah membawakan hadits di atas, beliau berkata: “Hadits ini menunjukkan bolehnya seorang suami memukul istrinya dalam rangka mendidiknya.” Beliau mensifati pukulan di sini dengan pukulan yang tidak keras dan memayahkan. (Syarah Shahih Muslim, 8/184).
Pukulan itu juga tidak ditujukan ke wajah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan:
“Apabila salah seorang dari kalian memukul maka hendaklah menjauhi (jangan memukul) wajah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)
Ulama mengatakan bahwa hadits ini secara jelas menunjukkan larangan memukul wajah dan masuk dalam larangan ini bila seorang suami memukul istri, anak ataupun budaknya dengan pukulan pendidikan. (Syarah Shahih Muslim, 16/165)
Apabila istri telah kembali kepada ketaatannya terhadap suami dan meninggalkan perbuatan nusyuz-nya maka “janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka”, yakni janganlah kalian berbuat jahat kepada mereka baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ayat ini ada larangan untuk mendzalimi para istri. (Al-Jami` li Ahkamil Qur’an, 1/113)
Bagaimana bila Suami yang Berbuat Nusyuz
Seorang istri diberi hak oleh Islam untuk mengobati nusyuz suaminya, namun tentunya ia tidak bisa menempuh cara hajr atau pukulan sebagaimana hak ini diberikan kepada suami, karena perbedaan tabiat wanita dengan laki-laki dan lemahnya kemampuan serta kekuatannya.
Seorang istri yang cerdas akan mampu menyabarkan dirinya guna mengembalikan suaminya sebagai suami yang baik sebagaimana sedia kala, sebagai ayah yang lembut penuh kasih sayang. Ketika mendapati nusyuz suaminya ia bisa melakukan hal-hal berikut ini:
*
Mencurahkan segala upayanya untuk menyingkap rahasia dibalik nusyuz suaminya. Kenapa suamiku berbuat demikian? Apa yang terjadi dengannya? Ada apa dengan diriku?
*
Menasehati suami dengan penuh santun, mengingatkannya terhadap apa yang Allah wajibkan padanya berupa keharusan membaguskan pergaulan dengan istri dan sebagainya.
*
Sepantasnya bagi istri untuk selalu mencari keridhaan suaminya dan berupaya mencari jalan agar suaminya senang padanya. Maka ketika ia mendapati suaminya menjauh darinya, ia bisa melakukan bimbingan Al Qur’an berikut ini:
“Dan apabila seorang istri khawatir akan nusyuz suaminya atau khawatir suaminya akan berpaling darinya maka tidak ada keberatan atas keduanya untuk mengadakan perbaikan/perdamaian dengan sebenar-benarnya.” (An-Nisa’: 128)
Berkata Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah: “Istri yang khawatir suaminya berbuat nusyuz atau berpaling darinya maka dibolehkan baginya untuk mengadakan perdamaian dengan suaminya, dengan cara ia merelakan tidak dipenuhi hari gilirannya atau ia menggugurkan sebagian haknya yang semestinya dipenuhi oleh suami dalam rangka mencari simpati dan rasa ibanya, juga agar ia tetap dalam ikatan pernikahan dengan suaminya (tidak dicerai).” (Tafsir Ath-Thabari, 5/306)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Tidak apa-apa ia (istri) merelakan sebagian haknya dalam rangka mencari ridha suaminya dan kapan saja istri mengadakan perdamaian dengan suaminya dengan cara meninggalkan sesuatu dari hak gilirannya atau nafkahnya atau kedua-duanya, maka hal ini dibolehkan.” (Al-Mughni, 7/243)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah berkata tentang ayat di atas: “Maka yang lebih baik pada keadaaan ini, keduanya melakukan perbaikan dan perdamaian dengan cara si istri merelakan gugurnya sebagian haknya yang semestinya dipenuhi suami asalkan ia tetap hidup bersamanya (tidak dicerai), atau ia ridha diberi nafkah yang sedikit, diberi pakaian dan tempat tinggal seadanya, atau dalam hal giliran3 ia menggugurkan haknya tersebut atau dengan cara ia menghadiahkan hari dan malam gilirannya kepada madunya.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 206)
Tidak sepantasnya ketika ada masalah dengan suami, seorang istri ngambek minta pulang ke rumah orang tuanya. Atau yang lebih parah lagi si istri minggat dari rumahnya, tanpa izin suami tentunya. Padahal di antara hak suami yang harus ditunaikan istri, si istri tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izinnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suami dan tidak halal bagi seorang pun mengambil istri seseorang dan menahannya dari suaminya, sama saja baik karena si istri tersebut seorang perawat, atau seorang bidan atau profesi lainnya. Bila istri tersebut keluar dari rumah suami tanpa izinnya, maka ia telah berbuat nusyuz9, bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya dan ia pantas mendapatkan hukuman.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32/281)
Mendamaikan Sengketa antara Kedua Pihak
Dengan demikian, bila ada permasalahan rumah tangga, seharusnya suami dan istri berusaha menyelesaikannya berdua bila memang masalahnya bisa diselesaikan berdua. Ibaratnya “tutup pintu rapat-rapat” dari masuknya pihak ketiga dan jangan sampai orang lain tahu masalah tersebut. Jangan tergesa-gesa melibatkan pihak luar, orang tua misalnya, karena dapat memperkeruh suasana, bukan memperbaiki keadaan. Melibatkan orang tua, apatah lagi orang tua yang masih awam, tidak memiliki pandangan dalam agama, belum tentu menyelesaikan masalah, malah bisa menambah panas dan keruhnya permasalahan. Terkecuali orang tua itu seorang yang arif, paham agama dan pandangannya lurus, barulah memungkinkan masalah yang ada diangkat padanya bila memang sepasang suami istri tidak bisa lagi menyelesaikannya berdua.
Hendaklah sepasang suami istri selalu bertakwa kepada Allah subhanahu wata’ala dalam seluruh keadaan mereka, di mana pun mereka berada sebagaimana sabdanya:
“Bertakwalah engkau kepada Allah di mana pun engkau berada.” (HR. At-Tirmidzi, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/1618, dan Al-Misykat no. 5083)
dan hendaklah keduanya melazimi (selalu) ketaatan kepada-Nya. Ketahuilah, dengan takwa segala masalah akan mendapatkan pemecahannya, karena Allah k yang Mahabenar janji-Nya telah berfirman dalam Tanzil-Nya:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً
“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan jalan keluar baginya.” (Ath-Thalaq: 2)
Dan firman-Nya:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)
Apabila permasalahan tersebut tidak dapat diselesaiakan sendiri, maka boleh meminta bantuan pendamai sebagaimana Allah subhanallahu ta’ala berfirman:
“Dan bila kalian khawatir perselisihan antara keduanya maka hendaklah kalian mengutus seorang hakim (pendamai) dari keluarga si suami dan seorang hakim (pendamai) dari keluarga si istri…”. (An-Nisa’: 35)
Bila terjadi perselisihan antara suami istri dan tidak diketahui siapa yang berbuat nusyuz di antara keduanya atau malah kedua-duanya berbuat nusyuz, ketika itu ulama sepakat disyariatkannya mengirim dua orang hakim untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Dan mereka bersepakat, dua orang hakim itu harus berasal dari keluarga kedua belah pihak, satu dari pihak suami dan yang lain dari pihak istri. Namun jika tidak ada maka boleh dari selain keluarga. (Al-Mughni, 7/243, Bidayatul Mujtahid, hal. 473).
Apabila kedua pasangan ini tidak bisa didamaikan kembali maka kedua hakim tersebut berhak untuk memisahkan antara keduanya, menurut pendapat yang rajih (kuat), dan ini yang dipegangi oleh madzhab Malikiyyah, satu riwayat dari Syafi‘iyyah dan satu riwayat dari Hanabilah. (Al-Muwaththa‘ karya Al-Imam Malik, 2/584, Al-Mughni 7/243-244).
=========================================
4.15. Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji , hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya .
jawaban nya :
4.16. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
4.17. Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan , yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
==============================
4.3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka (kawinilah) seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
4.3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)<--seorang laki laki dituntut adil kepada Istri nya. Karena seorang Istri itu mempunyai Hak dan Kewajiban, begitu juga seorang suami, juga mempunyai Hak dan Kewajiban.
perempuan yang yatim<--yatim disini dimaksud adalah : wanita yang sudah tidak menjadi tanggungan orang tua nya lagi karena telah beralih menjadi tanggungan suami nya. Yaitu dinafkahi.
(bilamana kamu mengawininya)<---apabila telah menikahi seorang wanita dan menjadi Istri, maka wajib lah seorang suami dituntut memberikan hak Istri. Diantaranya adalah menafkahi nya.
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.<---dalam Islam. seorang laki laki boleh memiliki lebih dari satu istri yang maksimal hanya empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka (kawinilah) seorang saja <---jika dapat merasa bisa berbuat adil, baik dari segi materi atau segi rohani, maka tiadalah masalah beristri 4. Apabila merasa tidak sanggup, maka cukup lah seorang Istri saja.
atau budak-budak yang kamu miliki. <---dalam Islam dibolehkan menikahi budak sendiri, atau budak orang lain. Tiada masalah bagi ALLAH, karena semua manusia dimata ALLAH itu sama. Tiada Tuan dan Tiada Hamba.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.<---jika bisa berlaku adil, maka tiada dikatakan berbuat aniaya kepada Istri istri tersebut.
Kami sangat menghargai komentar pembaca sekalian, baik saran, kritik, bantahan dan lain sebagainya.
Bagi pembaca yang ingin berkomentar silahkan untuk login dengan mengklik Login di Tombol Login komentar dan pilih akun yang ingin anda gunakan untuk Login, Bisa dengan Facebook, Twitter, Gmail dsb.
peraturan komentar:
1. komentar pendek atau panjang tidak masalah, baik lebih dari satu kolom juga tidak apa-apa.
2. komentar menggunakan bahasa indonesia dengan baik dan benar tidak berbelit-belit.
3. tidak menggunakan kata-kata kotor, hujat atau caci maki
4. langsung pada topik permasalahan
0 Response to "Menjawab Tuduhan rekan Kristen Torabika Abdullah"
Posting Komentar