Para debater Kristen kegirangan dengan adanya postingan FFI yg bilang Alqur’an ada 7 versi:
Jawaban:
Pertama-tama biar ga roaming kita bahas dulu apa itu Qira'ad
PENGERTIAN QIRAAD
Dalam pandangan ulama, Qirâ'at (قراءات) secara etimologis merupakan bentuk jama' dari qirâ'ah (قراءة) yang merupakan bentuk masdar dari qara'a (قرأ) yang berarti membaca.
Adapun secara terminologi, qirâ'at dalam pandangan ulama memiliki beberapa pengertian.
- Qirâ'at berarti salah satu madzhab (aliran) pengucapan Qur'an yang dipilih oleh salah satu imam qurra' sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya berdasarkan sanad-sanadnya yang sampai kepada Rasulullah Saw.
- Menurut Imam Zarkasyi (W 794 H) qirâ'at ialah "Perbedaan lafadz-lafadz yang tersirat dalam Al-Qur'an, baik mengenai huruf-hurufnya maupun tentang Kaifiyyah nya dalam hal takhfîf, tatsqîlmaupun antara keduanya
- Qirâ'at menurut Az-Zarqôni (W 1367 H) ialah, " madzhab (aliran) pengucapan al-Qur'an yang dipilih oleh salah satu imam qurra' sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya, yang sesuai dengan riwayat dan sanadnya, baik perbedaan yang berkenaan dengan pengucapan dalam huruf ataupun dalam kaifiyahnya.
- Menurut Al-Bannâ ad-Dimyâtî, qirâ'at ialah "ilmu untuk mengetahui kesepakatan pembaca atau pembawa al-Qur'an dan perbedaan mereka dalam hal hadzaf, itsbât, tahrîk, taskîn, fasal, wasaldan lain-lain yang berkenaan dengan pengucapan, penggantian dan lainnya dari aspek pendengaran.
Dari pengertian qirâ'at diatas dapat kita simpulkan bahwa text Al-Qur'an telah diturunkan dalam bentuk ucapan lisan, dan dengan mengumumkannya secara lisan pula berarti Nabi Muhammad Saw, Secara otomatis menyediakan teks dan cara pengucapannya pada umatnya, kedua-duanya haram untuk bercerai.
Juga sangat keliru jika menyimpulkan Qira’at adalah versi Alqur’an yang berbeda, karena pada dasarnya Qira’ad hanya perbedaan cara baca/pelafalan, sedangkan isi Alqur’an, dimana-mana ya sama saja.
Sejak zaman Rasulullah telah dikenal variasi bacaan Al-Qur'an, yang Nabi sendiri menyatakan hal itu. Namun bukan berarti umat muslim boleh membaca sesuai DIALEK mereka. Variasi bacaan tersebut telah ditetapkan sejak masa Rasulullah yang sudah diakui kebenarannya oleh Rasulullah sendiri.
"… dari Ubay bin Ka'ab mengatakan : Rasulullah bertemu dengan Jibril, maka beliau berkata :
'Wahai Jibril, sesungguhnya saya diutus kepada umat yang buta huruf, diantara mereka ada orang-orang tua dan sudah udzur, anak-anak, wanita, hamba sahaya serta orang-orang yang tidak pernah membaca buku sama sekali" , Jibril berkata : 'Wahai Muhammad sesungguhnya Al-Qur'an itu diturunkan atas 7 macam huruf "
Dari hadits diatas dapat diketahui bahwa Rasulullah menerima wahyu melalui malaikat Jibril dalam 7 macam huruf. Tujuh macam huruf ini yang biasa disebut "Qira'at Sab'ah" (tujuh macam bacaan) . Varian bacaan ini diperbolehkan oleh Rasulullah dan hanya terbatas apa yang diajarkannya. Selanjutnya umat Islam tidak boleh berani membaca dengan selain yang diajarkannya. Dan perbedaan cara baca itu pun tidak melahirkan suatu pertentangan makna.
Mengenai bacaan, al-Qur`an dibaca dengan beberapa model bacaan.
Ibn Mujahid menuturkan dalam kitab as-Sab’ah fil-Qira’at, bahwa Nabi SAW bersabda, “al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf.”Karenanya, bacaan pada masa itu sangat beragam, sampai dirumuskannya tujuh bacaan (al-Qira’at as-Sab’ah) dengan menisbahkan setiap qira’at kepada salah seorang dari tujuh imam yang terkenal sebagai huffadz al-Qur`an pada masa itu, yaitu:
1. Nafi (w. 169 H) di Madinah, dengan rawinya Qalun dan Warsy.
2. Ibn Katsir (w. 120 H) di Makkah, dengan rawinya Qunbul dan Bazzy.
3. Abu ‘Amr (w. 154 H) di Kufah, dengan rawinya Duri dan Susi.
4. Ibn ‘Amir (w. 118 H) di Damaskus, dengan rawinya Hisyam dan Ibn Dzakwan.
5. ‘Ashim (w. 128 H) di Kufah, dengan rawinya Hafsh dan Syu’bah.
6. Hamzah (w. 80 H) di Halwan, dengan rawinya Khalaf dan Khallad.
7. Al-Kisa’i (w. 189 H), dengan rawinya Duri dan Abul-Harits.
Perlu diperhatikan bahwa varian dalam Al-Qur'an sama sekali berbeda dengan kasus berbagai versi injil ke seluruh bahasa di dunia (tidak ada istilah terjemahan injil, yang ada hanyalah Injil bahasa ingris, injil bahasa Indonesia dan seterusnya) ataupun "revisi" pada setiap "percetakan".
Satu hal lagi yang dipertegas bahwa masalah Qira'ah Sa'bah bukan suatu hal yang ditutup-tutupi dalam kajian keilmuan Islam. Bagi anda yang sekolah di madrasah ataupun kuliah di universitas Islam pasti akan mempelajari hal ini di dalam mata kuliah "Ulumul Qur'an". Begitu pun dengan naskah kuno yang dapat anda temukan di beberapa perpustakaan di berbagai belahan dunia. Agaknya hal inilah yang "disajikan" oleh para orientalis kepada para muslim yang belum mengetahuinya agar meragukan keaslian Al-Qur'an saat ini.
Mushaf Al Quran yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu jaminan atas keotentikan Al Quran langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam firman-Nya QS.AL Hijr -(15):9:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Al Quran), dan kamilah yang akan menjaganya”
AL-QURAN PADA JAMAN RASULULLAH SAW.
Pengumpulan Al Quran pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:
1. Al Jam’u fis Sudur
Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
2. Al Jam’u fis Suthur
Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena khawatir akan bercampur dengan Al Quran. Rasul SAW bersabda “Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al Quran, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al Quran maka hendaklah ia menghapusnya ” (Hadist dikeluarkan oleh Muslim (pada Bab Zuhud hal dan Ahmad (hal 1).
Biasanya sahabat menuliskan Al Quran pada media yang terdapat pada waktu itu berupa ar-Riqa’ (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu ( pelepah kurma). Sedangkan jumlah sahabat yang menulis Al Quran waktu itu mencapai 40 orang. Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan Al Quran telah terjadi pada masa Rasulullah s.a.w. adalah hadis yang di Takhrij (dikeluarkan) oleh al-Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada Anas r.a., ia berkata: “Suatu saat kita bersama Rasulullah s.a.w. dan kita menulis Al Quran (mengumpulkan) pada kulit binatang “.
Dari kebiasaan menulis Al Quran ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah (manuskrip) yang dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang terkenal adalah: Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin bin Ma’qal.Adapun hal-hal yang lain yang bisa menguatkan bahwa telah terjadi penulisan Al Quran pada waktu itu adalah Rasulullah SAW melarang membawa tulisan Al Quran ke wilayah musuh. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Janganlah kalian membawa catatan Al Quran ke wilayah musuh, karena aku merasa tidak aman (khawatir) apabila catatan Al Quran tersebut jatuh ke tangan mereka”.
Kisah masuk islamnya sahabat `Umar bin Khattab r.a. yang disebutkan dalam buku-bukus sejarah bahwa waktu itu `Umar mendengar saudara perempuannya yang bernama Fatimah sedang membaca awal surah Thaha dari sebuah catatan (manuskrip) Al Quran kemudian `Umar mendengar, meraihnya kemudian memba-canya, inilah yang menjadi sebab ia mendapat hidayah dari Allah sehingga ia masuk islam.
Sepanjang hidup Rasulullah s.a.w Al Quran selalu ditulis bilamana beliau mendapat wahyu karena Al Quran diturunkan tidak secara sekaligus tetapi secara bertahap.
AL-QURAN PADA ZAMAN KHALIFAH ABU BAKAR AS SIDDIQ
Sepeninggal Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip) Al Quran, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam’ul Quran yaitu pengumpulan naskahnaskah atau manuskrip Al Quran yang susunan surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul).
Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya sebab-sebab yang melatarbelakangi pengumpulan naskah-naskah Al Quran yang terjadi pada masa Abu Bakar yaitu Atsar yang diriwatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. yang berbunyi: “Suatu ketika Abu bakar menemuiku untuk menceritakan perihal korban pada perang Yamamah , ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata :” Umar menghadap kepadaku dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang Yamamah sangat banyak khususnya dari kalangan para penghafal Al Quran, aku khawatir kejadian serupa akan menimpa para penghafal Al Quran di beberapa tempat sehingga suatu saat tidak akan ada lagi sahabat yang hafal Al Quran, menurutku sudah saatnya engkau wahai khalifah memerintahkan untuk mengumpul-kan Al Quran, lalu aku berkata kepada Umar : ” bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah s. a. w. ?” Umar menjawab: “Demi Allah, ini adalah sebuah kebaikan”. Selanjutnya Umar selalu saja mendesakku untuk melakukannya sehingga Allah melapangkan hatiku, maka aku setuju dengan usul umar untuk mengumpulkan Al Quran.
Zaid berkata: Abu bakar berkata kepadaku : “engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan pintar, kami tidak meragukan hal itu, dulu engkau menulis wahyu (Al Quran) untuk Rasulullah s. a. w., maka sekarang periksa dan telitilah Al Quran lalu kumpulkanlah menjadi sebuah mushaf”.
Zaid berkata : “Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan aku untuk memindah salah satu gunung tidak akan lebih berat dariku dan pada memerintahkan aku untuk mengumpulkan Al Quran. Kemudian aku teliti Al Quran dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, lempengan batu, dan hafalan para sahabat yang lain).Kemudian Mushaf hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu Bakar, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 12 H. Setelah ia wafat disimpan oleh khalifah sesudahnya yaitu Umar, setelah ia pun wafat mushaf tersebut disimpan oleh putrinya dan sekaligus istri Rasulullah s.a.w. yang bernama Hafsah binti Umar r.a.
Semua sahabat sepakat untuk memberikan dukungan mereka secara penuh terhadap apa yang telah dilakukan oleh Abu bakar berupa mengumpulkan Al Quran menjadi sebuah Mushaf. Kemudian para sahabat membantu meneliti naskah-naskah Al Quran dan menulisnya kembali. Sahabat Ali bin Abi thalib berkomentar atas peristiwa yang bersejarah ini dengan mengatakan : ” Orang yang paling berjasa terhadap Mushaf adalah Abu bakar, semoga ia mendapat rahmat Allah karena ialah yang pertama kali mengumpulkan Al Quran, selain itu juga Abu bakarlah yang pertama kali menyebut Al Quran sebagai Mushaf).
Menurut riwayat yang lain orang yang pertama kali menyebut Al Quran sebagai Mushaf adalah sahabat Salim bin Ma’qil pada tahun 12 H lewat perkataannya yaitu : “Kami menyebut di negara kami untuk naskah-naskah atau manuskrip Al Quran yang dikumpulkan dan di bundel sebagai MUSHAF” dari perkataan salim inilah Abu bakar mendapat inspirasi untuk menamakan naskah-naskah Al Quran yang telah dikumpulkannya sebagai al-Mushaf as Syarif (kumpulan naskah yang mulya). Dalam Al Quran sendiri kata Suhuf (naskah ; jama’nya Sahaif) tersebut 8 kali, salah satunya adalah firman Allah QS. Al Bayyinah (98):2 ” Yaitu seorang Rasul utusan Allah yang membacakan beberapa lembaran suci. (Al Quran)”
AL-QURAN PADA JAMAN KHALIFAH UMAR BIN KHATAB
Tidak ada perkembangan yang signifikan terkait dengan kodifikasi Al Quran yang dilakukan oleh khalifah kedua ini selain melanjutkan apa yang telah dicapai oleh khalifah pertama yaitu mengemban misi untuk menyebarkan islam dan mensosialisasikan sumber utama ajarannya yaitu Al Quran pada wilayah-wilayah daulah islamiyah baru yang berhasil dikuasai dengan mengirim para sahabat yang kredibilitas serta kapasitas ke-Al-Quranan-nya bisa dipertanggungjawabkan Diantaranya adalah Muadz bin Jabal, `Ubadah bin Shamith dan Abu Darda’.
AL-QURAN PADA JAMAN KHALIFAH USTMAN BIN `AFFAN
Pada masa pemerintahan Ustman bin ‘Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja (’Ajamy). Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif.
Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Al Quran, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab, maka mereka membaca Alqur'an sering bercampur dengan dialeg bahasa mereka. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin al-yaman.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin pasukan muslim untuk wilayah Syam (sekarang syiria) mendapat misi untuk menaklukkan Armenia, Azerbaijan (dulu termasuk soviet) dan Iraq menghadap Usman dan menyampaikan kepadanya atas realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan bacaan Al Quran yang mengarah kepada perselisihan.
Ia berkata : “wahai ustman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan Al Quran, jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga menyerupai kaum yahudi dan nasrani “.
Lalu Usman meminta Hafsah meminjamkan Mushaf yang di pegangnya untuk disalin oleh panitia yang telah dibentuk oleh Usman yang anggotanya terdiri dari para sahabat diantaranya Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al’Ash, Abdurrahman bin al-Haris dan lain-lain.
Kodifikasi dan penyalinan kembali Mushaf Al Quran ini terjadi pada tahun 25 H, Usman berpesan apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan agar mengacu pada Logat bahasa suku Quraisy karena Al Quran diturunkan dengan gaya bahasa mereka.
Setelah panitia selesai menyalin mushaf, mushaf Abu bakar dikembalikan lagi kepada Hafsah. Selanjutnya Ustman memerintahkan untuk membakar setiap naskah-naskah dan manuskrip Al Quran selain Mushaf hasil salinannya yang berjumlah 6 Mushaf.
Mushaf hasil salinan tersebut dikirimkan ke kota-kota besar yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan Yaman. Usman menyimpan satu mushaf untuk ia simpan di Madinah yang belakangan dikenal sebagai Mushaf al-Imam.
Tindakan Ustman untuk menyalin dan menyatukan Mushaf berhasil meredam perselisihan dikalangan umat islam sehingga ia manuai pujian dari umat islam baik dari dulu sampai sekarang sebagaimana khalifah pendahulunya Abu bakar yang telah berjasa mengumpulkan Al Quran. Adapun Tulisan yang dipakai oleh panitia yang dibentuk Usman untuk menyalin Mushaf adalah berpegang pada Rasm alAnbath tanpa harakat atau Syakl (tanda baca) dan Nuqath (titik sebagai pembeda huruf).
Perbincangan berikutnya, adakah teks ini yang memang persis bentuknya seperti yang dihimpun oleh Zaid sesudah adanya persetujuan menghilangkan segi perbedaan dalam cara membaca yang hanya sedikit sekali jumlahnya dan tidak pula penting itu? Segala pembuktian yang ada pada kita amat meyakinkan, bahwa memang demikian. Tidak ada dalam berita-berita lama atau yang patut dipercaya yang melemparkan kesangsian terhadap Uthman sedikitpun, bahwa dia bermaksud mengubah al-Qur’an demi kepentingannya.
Memang benar, bahwa Syi’ah kemudian menuduh bahwa Uthman mengabaikan beberapa ayat yang mengagungkan Ali. Akan tetapi dugaan ini tidak dapat diterima oleh akal kita sama sekali. Ketika Mushaf ini diakui, antara pihak Umawiy dengan pihak Alawiy (golongan Mu’awiyah dan golongan Ali) belum terjadi sesuatu perselisihan faham. Bahkan persatuan Islam masa itu benar-benar kuat tanpa ada sebarang pengancaman bahaya. Di samping itu juga, Ali belum melukiskan tuntutannya dalam bentuknya yang lengkap. Jadi tidak ada maksud-maksud tertentu yang akan mendorong Uthman melakukan pelanggaran yang sangat dibenci oleh umat Islam itu. Orang-orang yang benar-benar memahami dan hafal al-Qur’an seperti yang mereka dengar sendiri waktu Nabi membacanya, mereka masih hidup tatkala Uthman mengumpulkan mushaf itu.
Andai kata ayat-ayat yang mengagungkan Ali itu sudah ada, tentu terdapat juga teksnya di tangan pengikut-pengikutnya yang banyak itu. Dua alasan ini saja sudah cukup untuk menyokong usaha menghilangkan ayat-ayat itu. Lagi pula, pengikut-pengikut Ali sudah berdiri sendiri sesudah Uthman wafat, lalu mereka mengangkat Ali sebagai pengganti. Dapatkah diterima akal — pada waktu mereka sudah memegang kekuasaan — bahwa mereka akan menerima al-Qur’an yang sudah terpotong-potong, dan terpotong yang disengaja pula untuk menghilangkan tujuan pemimpin mereka?! Sungguhpun begitu, mereka tetap membaca al-Qur’an yang juga dibaca oleh lawan-lawan mereka. Tiada bayangan sedikit pun bahwa mereka akan menentangnya. Bahkan Ali sendiri telah memerintahkan supaya menyebarkan naskah itu sebanyak-banyaknya. Malah ada diberitakan, bahwa ada beberapa di antaranya yang ditulis dengan tangannya sendiri.
Memang benar bahwa para pemberontak itu telah membuat pangkal pemberontakan mereka karena ‘Usthman telah mengumpulkan Al-Qur’an lalu memerintahkan supaya semua naskah dimusnahkan selain Mushaf Uthman. Jadi tentangan mereka ditujukan kepada langkah-langkah ‘Usthman dalam hal itu saja, yang menurut anggapan mereka tidak boleh dilakukan. Tetapi sebaliknya, tidak seorang yang menunjukkan adanya usaha mengubah atau menukar isi Al-Qur’an. Tuduhan demikian pada waktu itu adalah suatu usaha untuk merusak secara terang-terangan. Hanya kemudian golongan Syi’ah saja yang mengatakan itu untuk kepentingan mereka sendiri.
Sekarang kita dapat mengambil kesimpulan dengan yakin dan tegas, bahwa Mushaf Uthman itu tetap dalam bentuknya yang persis seperti yang dihimpun oleh Zaid bin Thabit, dengan lebih disesuaikan bahan-bahannya yang sudah ada lebih dulu dengan dialek Quraisy. Kemudian menyisihkan bacaan-bacaan selebihnya yang pada waktu itu terpancar-pancar di seluruh daerah itu.
Namun standarisasi pada jaman Ustman tidaklah menafikkan bahwa ada 7 macam Qira’ad yang telah dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Hal itu secara tidak langsung mengakibatkan berkembangnya ilmu Al-qur'an (Ulumul Qur'an) saat itu hingga kini. Khalifah Ustman hanya berpesan untuk menggunakan Logat bahasa suku Quraisy (bahasa asalnya) karena Al Quran diturunkan dengan gaya bahasa mereka agar tidak terjadi perpecahan karena perbedaan dialeg antar suku, tidak menghilangkan Qira'ad sama sekali.
Catatan penting : Qira'ad tidak sama dengan dialeg.
KESIMPULAN:
Wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril yang kemudian diperintahkan sahabat untuk menulis dan menghafalnya. Kemudian pada masa Abu Bakar apa yang ditulis dan dihafal tersebut disalin kedalam lembaran-lembaran. Kemudian masa khalifah Utsman disalin kedalam bentuk mushaf yang menjadi standar satu-satunya hingga saat ini sampai kepada kita para muslim.
Intinya Qiraad hanyalah perbedaan cara baca Alqur’an, bukan jenis atau versi Alqur’an. Walaupun ada 7 qiraad Alqur’an, isi Alqur’an tetap sama, tulisannya tetap itu-itu saja. Berbeda dengan injil yang memang banyak versinya dan beda-beda juga isinya.
Gituh tuh, jangankan ngerti Qira'ad itu apaan?
Huruf alif segede tiang listrik aja ga tahu, pada mau menafsirkan dan menuduh Alqur'an macam-macam
Kami sangat menghargai komentar pembaca sekalian, baik saran, kritik, bantahan dan lain sebagainya.
Bagi pembaca yang ingin berkomentar silahkan untuk login dengan mengklik Login di Tombol Login komentar dan pilih akun yang ingin anda gunakan untuk Login, Bisa dengan Facebook, Twitter, Gmail dsb.
peraturan komentar:
1. komentar pendek atau panjang tidak masalah, baik lebih dari satu kolom juga tidak apa-apa.
2. komentar menggunakan bahasa indonesia dengan baik dan benar tidak berbelit-belit.
3. tidak menggunakan kata-kata kotor, hujat atau caci maki
4. langsung pada topik permasalahan
Terima kasih, bermanfaat sekali
BalasHapusMengapa standar alquran yg dipakai saat ini adalah edisi mesir 1924 yg disponsori kerajaan arab saudi dan mencetaknya secara besar2an? Apakah alquran versi Ali tdk bisa dianggap sebagai alquran jg? Lalu salinan yg disorga mengacu pada mushaf yg mana?
BalasHapusBermanfaat untuk menjawab bagi yang meragukan al quran
BalasHapus