Harun Nasution



Prof. Dr. Harun Nasution lahir di pematang Siantar, Sumatra Utara, 23 september 1919. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar Hollandsch-Inlandsche School (HIS), ia melanjutkan studi Islam ke tingkat menengah yang bersemangat modernis,Moderne Islamiestische Kweekschool (MIK). Karena desakan orang tua, ia meninggalkan MIK dan pergi belajar studi ke Saudi Arabia. Di negeri gurun pasir ini ia tidak bias tahan lama dan menutut orang tuanya agar bias pindah studi ke Mesir. Di negeri sungai Nil ini harun mula-mula mendalami Islam di fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, namun merasa tidak uas dan kemudian pindah ke Universitas Amerika di Cairo. Di universitas ini Harun tidak mendalami Islam, tetapi ilmu pendidikan dan ilmu social. Salaam beberapa tahun sempat bekerja diperusahaan swasta dan kemudian di Konsulat Indonesia di Kairo setamat dari universitas tersebut dengan ijazah B.A. di kantongnya. Dari konsulat itulah, utra Batak yang mempersunting seorang putrid dari negeri Mesir ini mulai berkarir diplomatiknya. Dari mesir, ia ditarik ke Jakarta, dan kemudian diberi pos sebagai sekertaris pada Kedutaan Besar Indonesia di Brussel.

Situasi politik dalam negri Indonesia pada tahun 1960-an membuatnya mengundurkan diri dari karir diplomatic dan pulang ke Mesir. Di Mesir ia kembali menggeluti dunia ilmu di sebuah sekolah tinggi studi Islam, di bawah bimbingan salah seorang ulama Fiqh Mesir terkemuka, Abu Zahrah. Ketika belajar disinilah Harun mendapat tawaran untuk mengambil studi Islam di Universitas McGill, Kanada. Untuk tingkat magister di Universitas ini ia menulis tentang “Pemikiran Negara Islam di Indonesia” dan untuk disertasi Ph. D. ia menulis tentang posisi akal dalam pemikiran Teolog Muhammad Abduh.” Setelah meraih doctor, Harun kembali ke tanah air dan mencurahkan perhatiannya pada pengembangan pemikiran Islam lewat IAIN. Harun telah menulis sejumlah buku dan semua bukunya menjadi buku teks terutama dilingkungan IAIN; Islam ditinjau dari berbagai aspeknya (1974) 2 jilid, Teologi Islam (1977), FIlsafat Agama (1987), Filsafat dan Mistik dalam Islam (1978), Aliran Modern dalam Islam (1980) dan Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah (1987). (sumber; islam Rasional, gagasan dan pemikiran, Mizan, 1995, Cet. 3)

…………………….

Menurut Adian Husaini, sosok dan pemikiran Harun Nasution jarang dibahas dalam forum-forum public, padahal dia punya andil besar dalam melakukan perombakan dan pembaruan studi agama, terutama melalui bukunya, “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,” yang digunakan sebagai salah satu referensi penting dalam mata kuliah studi Islam di berbagai IAIN.

Alkisah, berdasarkan hasil rapat rector IAIN se-Indonesia pada agustus 1973 di Ciumbuluit Bandung, DEPAG memutuskan buku “Islam ditinjau dari berbagai aspeknya” karya Prof. Dr. Harun Nasution direkomendasikan sebagai “buku yang akan bermanfaaat terutama untuk mata kuliah pengantar agama Islam – mata kuliah komponen Institut yang wajib diambil oleh setiap mahasiswa IAIN, apapun fakultas dan jurusannya.”

Pada tanggal 3 Desember 1975, Prof. HM Rasjidi menulis laporan rahasia kepada Menteri Agama dan beberapa eselon tertinggi Depag. Rasjidi menulis, “laporan Rahasia tersebut berisi kritik terhadap buku Sdr. Harun Nasution yang berjudul ‘Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya” saya menjelaskan kritik saya fasal demi fasal dan menunjukan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementrian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh kementrian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi di jadikan sebagai buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.”

Cara pandang dan cara penyajian Harun terhadap agama Islam, memang gaya khas Orientalis Barat, yang menempatkan semua agama pada posisi fenomena yang sama. Dia, misalnya menggambarkan perkembangan teologi sebagai hasil evolusi, dari dinamisme, animism, politeisme atau heboteisme, lalu monoteisme, yang dia katakana juga sebagai agama tauhid.

Dalam perspektif evolusif seperti ini, monoteisme dipandang bukan sebagai kebenaran final, karena bias berkembang, dan menuju pada jenis paham keagamaan lainya, semisal ateisme. Harun tidak menyebutkan hal ini dalam bukunya.

Tapi, ini adalah konsekuensi logis dari cara berfikir evolutif dalam keagamaan. Padahal, Islam sebagai agama tauhid bukanlah hasil evolusi pemikiran manusia. Sebab, agama tauhid berasal dari wahyu Allah, sehingga sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, konsep agama tauhid adalah tetap, dan tidak mengalami evolusi. Barat tentu saja tidak mengenal konsep wahyu dalam tradisi pemikirannya, sehingga mereka menempatkan agama sebagai bagian dari gejala budaya yang tumbuh di tengah masyarakat.

Masih menurut Adian, Harun juga sangat keliru ketika menyebutkan jenis agmaa monoteisme – yang ia istilahkan juga dengan agama tauhid – yaitu agama Islam, Yahudi, Kristen, dan Hindu. Agama Islam , Yahudi, Kristen menurutnya adalah satu rumpun. Sedangkan agama Hindu bukan satu rumpun. Namun, akhirnya Harun mencatat, bahwa Islam dan Yahudi adalah agama monoteis yang murni, sedangkan Kristen tidak monoteis lagi. Benarkah demikian?

Harun sangat menyederhanakan masalah dan mengabaikan masalah yang mendasar tentang perbedaaan konsep Tuhan dalam Islam dan Yahudi. Konsepsi Tuhan versi Yahudi jelas tidak sama dengan Islam. Konsep Yahudi tentang tuhan yang satu – beberapa menyebutnya dengan nama Yahweh – jelas sangat berbeda dengan Islam.

Yahudi memonopoli tuhan hanya untuk bangsanya sendiri. Bangsa lain tidak boleh menyembahnya. Ini yang dikatakan harus sebagai henoteisme. Tapi anehnya Harun masih tetap memasukan Yahudi dalam jenis agama monoteisme/tauhid murni.

Juga, gambaran yahudi tentang Yahweh sangat anthoposentris, dan jauh berbeda dengan gambaran Islam tentang Allah subhanahu wa ta’ala.

Misalnya, dalam 1 samuel, 15:10, dinyatakan: “Aku menyesal karena Aku telah menjadikan Saul raja, sebab ia telah berbalik dari pada Aku dan tidak melaksanakn firman-Ku.” Juga, dalam kitab keluaran 32:14 dikatakan: “dan menyesalah TUHAN karena malapetaka yang dirancang-Nya atas umat-Nya.”

Dalam keluaran 12:12 pun digambarkan Tuhan yang bercorak manusia itu: “Sebab pada mala mini Aku akan menjalani tanah Mesir, dan semua anak sulung, dari anak manusia sampai anak binatang, akan Kubunuh, dan kepada semua makhluk allah di Mesir akan Kujatuhkan hukuman, Akulah, Tuhan.” (teks Alkitab versi LAI 2004).

Prof. Rasjidi menulis kritiknya terhadap cara Harun dalam menyajikan gambaran tentang agama-agama : cara penyajan dalam buku ini adalah cara pengarang Barat yang dalam fikiran mereka menyimpan suatu perasaan bahwa semua agama itu pada dasarnya sama dan merupakan gejala social yang dapat ditemukan pada tiap-tiap kelompok manusia. Penganjur kelompok ini adalah sarjana Prancis yang bernama Emile Durkheim (1858-1917)

Jka dicermati, cara yang ditempuh oleh Harun memang tidak menanamkan keyakinan akan kebenaran Islam, sebagai agama yang terakhir. Cara-cara orientalis Barat dalam studi agama tersebar pada berbagai bagian dari buku Harun Nasution tersebut. Masalahnya, Rasjidi memang membentur tembok.

Ketika itu, yang menjadi Menteri Agama adalah Mukti Ali, yang diakui oleh Harun dalam biografinya, sejalan dengan pikirannya. Namun Rasjidi telah sempat mengingatkan : “Uraian Dr. Harun Nasution yang terselubung uraian ilmiah sesungguhnya mengandung bahaya bagi generasi muda Islam yang ingin dipudarkan keimananya.”

Adalah menarik melihat sejarah hubungan antara Harun Nasution dengan HM. Rasjidi. Keduanya adalah shahabat lama. Dalam biografi kedua tokoh ini, kisah persahabatan mereka juga digambarkan.

Ketika itulah dia membantu Harun Nasution untuk melanjutkan kuliahnya McGill. Rasjidi menuturkan, bahwa ia membutuhkan teman di Kanada, karena ia seorang diri.



Saat itu, Harun sedang kesulitan ekonomi. Rasjidi mengatakan kepadanya, Datang sajalah ke Kanada, nanti saya carikan jalan.” Di Montreal, Kanadam Harun diajak tinggal di rumahnya. Baru setelah istri Harun menyusul, mereka berpisah.

Rasjidi mengaku tidak terlalu mencermati pemikiaran Harun. Ia baru mengetahui corak pemikiran Harun setelah pulang dari McGill. Menurut Rasjidi, Harun bukan hanya kurang kritis terhadap pemikiran Orientalis tetapi malah mengikuti dan mengembangkannya di Indonesia.

Kata Rasjidi, “Menurut penilaian saya, Harun Nasution kurang kritis dalam menerima kuliah di Universitas itu. Di Islamic studies, di Negara-negara Barat, pengaruh Orientalisme pada umumnya besar.”



Diambil dari buku 50 tokoh Islam Liberal Indonesia.




0 Response to "Harun Nasution"

Posting Komentar